Sitemap

Indonesia: kepiawaian budaya yang gagal dimanfaatkan

6 min readAug 22, 2025

Also published on Wordpress.

Di panggung mancanegara, Indonesia jarang sekali menonjol. Baik di olahraga, pendidikan, IPTEK, perniagaan, perindustrian atau kebudayaan, bangsa kita bukanlah sosok yang menjulang tinggi.

Memang ada orang Indonesia yang berprestasi tinggi di berbagai bidang. Tetapi, mereka hanya segelintir. Itupun juga, mereka jarang dihargai negara mereka sendiri. Akibatnya, antara mereka berhenti menempuh bidang mereka atau mereka “kabur” ke luar negeri, ke negara yang sudah pasti menghargai bakat dan keahlian mereka.

Untuk di bidang kebudayaan, memang betul seni musik dan tari tradisional Indonesia diminati di luar negeri. Tetapi, kesenian tersebut hanya diminati segelintir orang, mereka yang cenderung memiliki minat seni yang tinggi dan mempelajari seni sebagai para sarjana. Jarang orang awam berminat.

Itupun juga, mereka hanya tertarik dengan seni pertunjukan Jawa dan Bali. Jarang sekali mereka berminat mempelajari seni suku-suku lainnya.

Kita juga menyedihkan dari segi boga. Orang asing jarang mendengar tentang masakan Indonesia. Kalaupun iya, mereka hanya tahu tentang rendang, nasi goreng, bakso, martabak manis dan indomie; walaupun makanan tersebut memang lezat, mereka juga tergolong “basi”, gagal menunjukan keistimewaan boga nusantara yang sesungguhnya.

Tidak hanya kita tidak mau menghargai bakat dan keahlian saudara sebangsa sendiri, kita tidak piawai dan bahkan malas memasarkan negara kita sendiri. Itu bukanlah sebuah rahasia, kita semua akui itu. Tetapi, ada satu hal yang sepertinya yang masih banyak belum disadari orang Indonesia: kita adalah bangsa dengan keragaman manusia yang tinggi.

Menurut sensus penduduk 2010 (saya kesusahan mencari data suku untuk periode 2020an), walaupun suku Jawa adalah suku terbesar, mereka hanya mencakupi kurang lebih 40% jumlah penduduk. Di urutan kedua adalah suku Sunda yang hanya mencakupi 15%. Di urutan ketiga adalah suku Batak, yang hanya mencakupi 3.58%

Tidak hanya Indonesia memiliki lebih dari 1300 suku bangsa, sebagian suku-suku tersebut memiliki berbagai subkelompok, masing-masing memiliki dialek dan bahkan bahasa mereka sendiri. Belum lagi, walaupun kita bermayoritas Islam, keagamaan kita juga cukup beragam untuk memiliki propinsi-propinsi dengan mayoritas non-Muslim.

Negara-negara barat sok multikultural, tanah air kita sudah multikultural dengan sendirinya.

Tetapi, budaya pop nasional kita tidak pernah memanfaatkan itu.

Memang betul budaya pop kita bisa bernuansa Indonesia. Tetapi, pengaruh baratnya jauh lebih kuat, apalagi di bidang musik; walaupun saya bisa menikmati lagu pop negeri, saya juga merasa banyak dari mereka sok kebarat-baratan.

Kalau pun juga karya-karya tersebut menggambarkan kedaerahan, mereka hanya terpaku pada daerah dan suku tertentu; belum lagi, karena industrinya berpusat di ibu kota, penggambaran kedaerahan juga cenderung bersifat stereotipikal, penuh prasangka.

Memang betul daerah-daerah juga memiliki penghibur mereka sendiri. Tetapi, berapa banyak dari mereka terkenal di ranah nasional, yang ketenarannya bisa menyaingi ketenaran artis ibu kota? Saya yakin jawabannya sangat sedikit.

Oke, sebenarnya tidak masalah kalau mereka kalah bersaing. Permasalahannya adalah orang-orang daerah lebih suka melahap hiburan ibukota. Saya tidak tahu pasti apa sebab-akibatnya.

Apakah ini disebabkan karena orang-orang daerah yang tidak aktif membangun industri hiburan mereka sendiri, sehingga ikatan dengan budaya setempat semakin teriris? Atau apakah ini sebaliknya: karena ikatan dengan budaya setempat semakin teriris, industri hiburan setempat tidak bisa membawa keuntungan jangka panjang?

Apa penyebab yang pertama? Apakah orang-orang daerah tidak pernah terpikir untuk membangun industri hiburan mereka sendiri secara besar-besaran? Atau mereka merasa tidak percaya diri bisa bersaing dengan hiburan ibu kota yang lebih berduit dan berdaya tarik lebih luas?

Apa penyebab yang kedua? Apakah ini dikarenakan penekanan kesatuan negara yang salah kaprah, yang meminggirkan bahasa-bahasa daerah?

Saya tidak tahu alasan yang pasti. Tetapi, menurut saya, kearifan lokal harus dimasukan ke dalam kurikulum wajib di semua sekolah dan tidak dianggap sebagai mata pelajaran pilihan semata.

Dari bahasa, masakan, sejarah hingga kesenian daerah dan ilmu bela diri, semua wajib dipelajari. Kita harus menekankan bahwa kearifan lokal sama pentingnya dengan bahasa pemersatu, matematika, ilmu sosial dan ilmu alam.

Saya tidak bisa jamin bahwa semua siswa akan 100% cinta kedaerahan mereka. Malah, karena wajib dipelajari, ada risiko sebagian siswa akan benci dengan kedaerahan mereka. Tetapi, menurut saya, risikonya sepadan. Setidaknya, masih banyak orang yang akan memahami warisan leluhur mereka.

Itupun juga, saya masih anggap tidak cukup. Kita juga harus mendanai semua kegiatan kebudayaan setempat, dari yang merakyat hingga yang tergolong seni rupa murni, terutama yang ketenarannya mulai pudar. Saya mau ikatan kebudayaan itu terus melekat, meskipun para siswa sudah lama selesai sekolah.

Tentu saja, usulan saya tidak menjamin bahwa industri hiburan akan menjamur di semua daerah, apalagi jika kita bicara tentang suku-suku yang jumlah penduduknya tergolong kecil. Tetapi, kelekatan tersebut pastinya akan memicu permintaan pasar…. dan jika jumlah populasi suku relatif besar (di atas satu juta), permintaan tersebut akan terpenuhi; para seniman and penghibur tradisional bisa mencari makan tanpa bantuan dana pemerintah.

Pasti sebagian dari anda merasa ini adalah hal remeh-temeh. Anda tidak mengerti apa pentingnya melestarikan kedaerahan. Menurut saya, usaha itu memiliki dampak yang besar.

Pertama, kita tidak menjadi katak dalam tempurung.

Setiap budaya (dan sub-budaya) sudah pastinya memiliki pandangan hidup tersendiri. Jika kita berpikiran terbuka, kita bisa belajar dari pandangan-pandangan hidup tersebut — tanpa harus sependirian dengan mereka — dan memperluas cakrawala kita; setiap kali kita berpikir, kita akan cenderung mempertimbangkan berbagai sudut pandang, mencegah kita membuat kesimpulan yang cetek.

Kedua, kita jadi terdorong untuk tidak selalu berpusat ke tempat-tempat tertentu.

Mau tidak mau, kita terdorong untuk mengakui bahwa setiap wilayah di Indonesia berperan serta dalam pembangunan negara dan bahkan juga pembentukan jati diri negara, bahwa Indonesia lebih dari sekedar pulau Jawa, Jakarta dan kota-kota besar lainnya.

Belum lagi manfaat perekonomiannya. Jika setiap daerah memiliki industri hiburan sendiri, sudah pastinya mereka juga menjadi lebih kaya.

Memang betul industri di Jakarta akan tetap lebih menguntungkan karena penggunaan bahasa nasional dan estetika yang cenderung kebarat-baratan, kedua-duanya memiliki daya tarik yang tergolong luas. Tetapi, keuntungan tersebut akan jauh lebih tersebar merata dan tidak terlalu berpusat ke satu tempat; kesenjangan perekonomian antar daerah tidak akan begitu tajam.

Ketiga, kekayaan dan keistimewaaan budaya kita akan terus berlanjut hingga ke abad 21, ke era yang semakin terglobalisasi.

Tentu saja, umat manusia sangatlah besar. Mustahil bagi kita untuk menciptakan satu jati diri yang bersifat global. Penyeragaman budaya global tidak akan pernah bisa mutlak dan menyeluruh.

Tetapi, semakin terglobalisasi dunia, semakin tinggi risiko terjadinya penyeragaman. Walapun bersifat rumpang, kita akan condong berkiblat kepada budaya-budaya yang membuntang di panggung dunia.

Saya sebenarnya tidak ada masalah dengan pengaruh luar. Malah, pengaruh luar tersebut bisa bermanfaat jika mereka memperkaya budaya dengan memberikan inspirasi baru dan merangsang keanekaragaman. Tetapi, jika mereka mencoba mengambil alih budaya kita, mereka justru akan melemahkan jati diri kita, membuat kita terlihat sebagai bangsa jiplakan.

Tentu saja, keberhasilan usaha pelestarian tersebut tidak menjamin daya tarik yang mendunia. Tidak ada jaminan bahwa kekuatan lunak (soft power) Indonesia akan sekuat negara-negara seperti AS, Jepang dan Korsel. Untuk perihal itu, kita juga harus menekankan diplomasi dan pemasaran, jika giat dilakukan, kekuatan lunak kita akan lebih runcing.

Malah, saya yakin kita juga bisa unggul di berbagai bidang, tidak hanya di sektor kebudayaan. Karena pelestarian tersebut, kita akan masih “kenal dekat” dengan sudut pandang nenek moyang kita yang beragam dan itu akan mempermudah kita untuk mencetuskan gagasan-gagasan yang tergolong khas.

Jika dibekali dengan pendidikan bermutu, kita tidak hanya menjadi negara maju, kita juga bisa melahirkan perintis-perintis kelas dunia.

Tetapi, meskipun semua itu gagal, usaha pelestarian kita akan tetap membuahkan manfaat: kita tidak akan mudah tenggelam dalam perubahan.

Seberubah-berubahnya dunia, kita tidak akan menjadi kacang yang lupa kulit, kita tidak akan membeo negara-negara lain tanpa pikir panjang dan, sudah pastinya, kita tidak akan mengemis ke mereka untuk mengakui keberadaan kita.

Setidaknya, bagi saya, semua itu bermanfaat. Baik dari segi perorangan dan kelompok, berniat ingin menjadi jiplakan orang lain adalah sebuah aib.

.

.

.

.

.

.

Patreon.

--

--

No responses yet