Pelajaran-pelajaran yang saya ambil dari UN

The Stammering Dunce
2 min readJul 22, 2020

--

Juga diterbitkan di Wordpress.

Pelajaran pertama: Sekedar ‘belajar’ itu percuma.

Pendidikan formal menuntut kita ‘belajar’ hanya dengan sekadar menghafal dan mengharapkan nilai dan masa depan cerah sebagai imbalan. Tuntutan tersebut semakin menguat saat kita dihantui bayangan UN yang tentu saja ampuh membunuh keinginan siswa untuk menimba ilmu.

Idealnya, kita juga harus belajar berpikir kritis agar kita tidak mudah terhasut oleh informasi yang kita terima. Kita juga harus belajar karena kita suka menimba ilmu tanpa mengharapkan imbalan; keikhlasan tersebutlah yang memperluas cakrawala kita.

Walaupun kehidupan kuliah jauh lebih menuntut dan gelar tidak akan pernah bisa menjamin masa depan cerah, saya lebih suka belajar di universitas.

Memang betul, tuntutan nilai masih ada. Tetapi, karena saya yang memilih jurusan sendiri, sebagian besar mata kuliah cocok dengan minat saya. Ditambah lagi, kita belajar tidak dengan sekedar menghafal, tetapi juga menelaah setiap embaran yang kita terima.

Penerapan pendidikan tinggi memang jauh dari sempurna dan tidak luput dari masalah indoktrinasi. Pendidikan tinggi juga bersifat formal sehingga tidak cocok bagi semua orang.

Tetapi, dibandingkan pendidikan tingkat dasar dan menengah, pendidikan tinggi jauh lebih berhasil dalam menyediakan wadah bagi mereka yang ingin belajar dengan sepenuh hati.

Pelajaran kedua: Di Indonesia, kejujuran adalah suatu kelemahan.

Di UN SMP dan SMA, saya bisa dibilang adalah satu dari segelintir murid yang tidak mau menyontek. Karena saya tinggal Indonesia, negara yang terkenal akan budi pekertinya, banyak orang di sekitar menghina saya.

Baik murid dan orang tua saya sendiri, mereka menganggap saya sok pintar dan sok suci. Guru-guru dengan bersedia tutup mata tentang kecurangan yang dilakukan anak-anak didik mereka.

Saya berhasil lulus UN SMP dan SMA dengan nilai rata-rata yang lumayan bagus dan saya raih itu tanpa melakukan kecurangan. Nilai-nilai itu adalah murni hasil jerih payah saya.

Tetapi, hingga saat ini, saya masih belum menerima pujian akan keberhasilan tersebut. Bahkan, masih ada yang bilang saya lulus karena keberuntungan semata. Saking mereka mementingkan hasil akhir, mereka dengan gampangnya memuliakan kecurangan dan merendahkan kejujuran.

Jika mereka tidak memuliakan kecurangan, mereka tidak akan melontarkan hinaan dari mulut comberan mereka.

Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa kemuliaan harus dilakukan dengan ikhlas, tanpa rasa riya. Selain membohongi diri sendiri dan orang lain, rasa riya juga membuat kita memiliki harapan palsu akan sekeliling kita.

Dengan polosnya, kita akan mengharapkan pujian dari orang lain. Jika kita beruntung tinggal di negara-negara bejat seperti Indonesia, yang kita akan dapatkan hanyalah mulut-mulut comberan penuh celaan. Yang ada kita makan hati.

Namanya juga manusia, walaupun saya tidak mengharapkan pujian (dan saya sudah tahu betapa bobroknya akhlak orang Indonesia), hinaan itu tetap saja menyakitkan.

Bayangkan jika saya mengharapkan pujian. Saya yakin saya akan menjadi pribadi yang jauh lebih sinis daripada sekarang.

.

.

.

.

.

Donate to this deadbeat, preachy blogger on Patreon.

--

--

The Stammering Dunce
The Stammering Dunce

No responses yet