Pembelaan AI yang sangat tidak masuk akal
Juga diterbitkan di Wordpress.
Setiap kali kita mengritik AI karena menghasilkan karya-karya “seni” yang tak berjiwa dan mencuri dari para seniman, pasti anda — para pengagum AI — akan membuat pembelaan-pembelaan berikut.
Anda bilang bahwa kita harus besar hati menerima perkembangan zaman. Anda juga bilang bahwa zaman dulu, ada kekhawatiran bahwa teknologi akan menggusur para seniman dan kekhawatiran itu terbukti tidak benar.
Pembelaan itu sama sekali tidak masuk akal.
Pertama-tama, percaya atau tidak, tidak semua perkembangan itu bagus.
Dalam hal ini, apa yang bagus dari karya-karya “seni” tak berjiwa dan mencuri dari para seniman? Mungkin anda membenci para seniman karena anda menganggap hidup hanyalah urusan konsumsi dan mencari keuntungan semata… dan para seniman berani-beraninya mengingatkan anda bahwa hidup memiliki harkat, harkat yang lebih tinggi daripada konsumsi dan mencari keuntungan.
Jika itu benar anda, saya tidak bisa berbuat apa-apa; hanya kita sendiri yang bisa menyembuhkan jiwa kita yang cacat.
Mungkin anda merasa syirik karena anda tidak bisa berseni. Tetapi, bukannya belajar lebih tekun, anda malah ingin menghilangkan martabat kesenian. Anda ingin membuat karya “seni” tanpa kerja keras.
Percaya atau tidak, ada juga yang namanya regulasi. Kecuali ada penganut paham anarkisme dan libertarianisme, anda pastinya akui bahwa kita perlu peraturan ketat yang masuk akal dan kita harus menerapkan sanksi yang sepadan kepada para pelanggar. Jika kita bisa membatasi berbagai sisi kehidupan kita dengan peraturan, kenapa tidak ke AI?
Kedua, AI bukanlah alat pembantu seni, AI adalah alat yang membuat karya “seni”.
Walapun para animator dan perancang grafis menggunakan komputer, mereka sendirilah yang harus menentukan dan menghasilkan bentuk dan warna; para animator juga harus yang “menggerakan” gambar mereka. Walaupun para musisi menggunakan komputer, mereka sendirilah yang harus menentukan nada, irama, “warna” suara dan syair lagunya. Teknologi yang mereka gunakan tidak pernah menggusur profesi mereka.
Sedangkan anda — para”seniman” AI — tidak harus melakukan semua itu. Anda hanya perlu modal imajinasi, kasih perintah ke mesin dan duduk manis tunggu hasil. Tidak layaknya seniman sejati, anda tidak pernah belajar mewujudkan imajinasi anda dengan usaha jerih payah anda sendiri.
Dan sudah pasti anda tidak tahu rasanya kecewa dengan karya anda sendiri, karya yang sudah dilakukan dengan susah payah.
Saya tidak tahu apakah anda menganggap kesenian sebagai keahlian yang remeh temeh….. atau anda hanya menderita penyakit yang bernama “kegoblokan”.
.
.
.
.
.
.